Penelitian ini dilakukan oleh tim dari Universitas Gadjah Mada yang berfokus pada peran urban farming dalam meningkatkan ketahanan pangan keluarga di wilayah perkotaan. Latar belakang dari studi ini adalah tingginya ketergantungan masyarakat kota terhadap pasokan pangan dari luar daerah serta meningkatnya harga bahan pokok yang berdampak langsung pada pengeluaran rumah tangga. Urban farming atau pertanian kota dipandang sebagai solusi alternatif yang tidak hanya memperkuat kemandirian pangan keluarga, tetapi juga meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.
Studi ini dilakukan selama enam bulan dengan melibatkan 120 keluarga di tiga kota besar: Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya. Masing-masing keluarga diberi pelatihan dasar tentang teknik hidroponik, vertikultur, dan komposting organik dengan memanfaatkan lahan terbatas seperti pekarangan, balkon, atau atap rumah. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, kuesioner, serta observasi langsung terhadap hasil panen dan perubahan pengeluaran rumah tangga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72% keluarga mengalami penurunan pengeluaran bulanan untuk kebutuhan sayuran hingga 30% setelah tiga bulan menjalankan urban farming secara aktif. Tanaman yang paling banyak dibudidayakan meliputi kangkung, bayam, selada, dan cabai, karena mudah dirawat dan cepat dipanen. Selain manfaat ekonomi, penelitian ini juga menemukan dampak psikologis positif, seperti berkurangnya stres dan meningkatnya interaksi antaranggota keluarga selama proses bercocok tanam.
Selain itu, aktivitas ini turut memperkuat ketahanan sosial melalui terbentuknya komunitas urban farming di tingkat RT dan RW. Komunitas-komunitas ini menjadi ruang berbagi pengalaman, teknologi, dan hasil panen, yang pada akhirnya menciptakan ekosistem pangan mikro yang resilien. Dalam beberapa kasus, warga bahkan mulai menjual hasil panen mereka secara kecil-kecilan melalui media sosial atau bazar lokal.
Namun, penelitian juga mencatat beberapa tantangan utama, seperti keterbatasan air bersih untuk irigasi, paparan polusi udara di beberapa lokasi, dan kurangnya pengetahuan teknis warga mengenai hama serta nutrisi tanaman. Untuk mengatasi hal ini, peneliti menyarankan perlunya dukungan pemerintah kota dalam bentuk penyediaan sarana pendukung, pelatihan berkelanjutan, dan subsidi alat urban farming ramah lingkungan.
Studi ini merekomendasikan agar urban farming dimasukkan dalam rencana tata kota sebagai bagian dari strategi adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan lokal. Pemerintah daerah juga disarankan untuk mengintegrasikan program ini dengan kebijakan pengelolaan limbah organik rumah tangga agar tercipta sistem pertanian sirkular di lingkungan perkotaan.
Dengan meningkatnya tekanan terhadap sistem pangan global dan risiko gangguan distribusi akibat perubahan iklim atau krisis geopolitik, urban farming menjadi salah satu solusi strategis untuk meningkatkan kemandirian dan keberlanjutan pangan di level rumah tangga. Penelitian ini membuka ruang bagi eksplorasi lebih lanjut mengenai integrasi teknologi pertanian cerdas, seperti IoT dan sensor kelembapan, dalam skala rumah tangga untuk efisiensi dan efektivitas yang lebih tinggi.